KATA PENGANTAR
I. PENDAHULUAN
- Pengertian
- Latar belakang dari BK
- Pendekatan mendayagunakan BK
- Maksud tujuan penyusunan buku ini
- Perlukah seorang psikolog dalam BK
- Perlukah kepemimpinan sekolah fokus dalam menerapkan BK
- Kesalahan-kesalahan BK yang bersifa umum
II. KONSEPSI MENDAYAGUNAKAN BIMBINGAN KONSELING
- Penerapan pengertian BK
- Merumuskankeputusan strategik dalam BK
- Siapa yang mendapatkan manfaat BK
- Tahapan proses konseling
- Pemahaman dasar yang terkait dengan aktivitas anak didik
- Konseling bagi diri sendiri
- Pemilihan tahapan proses konseling
- Tahapan-tahapan dalam proses tindakan
- Konselor dan klien
III. KETERAMPILAN DALAM PENGELOLAAN BIMBINGAN KONSELING
- TAHAP PERTAMA
- Pengetahuan dalam psikologi pendidikan
- Pengetahuan dalam psikologi kepribadian
- Pengetahuan dalam memahami emosi, motivasi, keseimbangan mental
- Pengetahuan dalam memahami berpikir, kreativitas, inovasi
- Pemberdayaan mendengar aktif, rasa hormat, ketulusan
- Kualitas konselor
- Teknik tahap satu
- Contoh tahap satu
- TAHAP KEDUA
- Apa yang dilakukan dalam tahap kedua
- Kekuatan dalam berdialog untuk mendengarkan tahap kedua
- Kebutuhan keahlian lainnya dalam tahap kedua
- Peringatan-peringatan
- Contoh pemberdayaan tahap kedua
- TAHAP KETIGA
- Meneliti sasaran yang hendak dicapai
- Mendiskusikan kembali oleh pemain peran dalam melengkapi proses
- Kebutuhan keahlian lainnya dalam tahap ketiga
- Contoh pemberdayaan tahap ketiga
BAB IV. BIMBINGAN KONSELING DAN ORGANISASI
- Hubungan konseling
- Konflik peran dalam konseling
- Pelayanan konseling
- Merayakan melalui kompetisi perubahan
BAB V P E N U T U P
BAB I. PENDAHULUAN
1. PENGERTIAN
Untuk dapat mendayagunakan bimbingan konsuling dalam organisasi pendidikan diperlukan kesamaan pikiran dalam memahami makna kata „peranan“ untuk suatu kedudukan, oleh karena itu peranan terkait dengan istilah-istilah yang berhubungan dengan kerja.
Untuk keprluan pemahaman diatas, maka 1) kerja adalah suatu konsepsi luas yang mengubungkan seseorang dengan alat-alatnya dan dengan orang-orang lain yang melakukan kegiatan serupa ; 2) jabatan atau kedudukan adalah merupakan suatu titik tertentu dalam suatu struktur organisasi yang menentukan kekuasaan orang yang memegangnya ; 3) peran adalah sekumpulan kewajiban yang dihasilkan oleh beberapa orang yang berarti dan orang yang memegang suatu jabatan ; 4) pekerjaan adalah syarat khusus untuk menghasilkan suatu produk atau mencapai suatu sasaran ; 5) fungsi adalah sekelompok perilaku yang diharapkan dari suatu peran ; 6) tugas adalah suatu kegiatan tertentu dari suatu fungsi yang seringkali terikat kepada waktu.
Sejalan dengan pengertian diatas, maka bimbingan konsuling haruslah dipandang kedalam organisasi pendidikan sebagai sustu system peran, sehingga setiap pimpinan dan pengajar harus mampu menjalankan peran untuk mempengaruhi bahwa setiap diri manusia terdapat tambang emas yaitu berupa pikiran dan banyak para ahli berpendapat bahwa kita baru 10 % saja dari kemampuan yang diberikan Tuhan dan 90 % lainnya tidak pernah tersentuh. Oleh karena itu, maka setiap peran tidak ada yang tidak menginginkan untuk meningkatkan partisipasi lebih baik dibandingkan rata-rata orang yang merasa kemampuan dirinya rendah, berilah motivasi agar mengembangkan 90 % bakat mereka yang tidak tersentuh itu.
Sejalan dengan pemikiran tersebut diatas, maka setiap pendidik harus mampu berperan sebagai konselor yang dapat memenuhi harapan anak didik karena konseling merupakan jantung hati dari usaha motivasi untuk anak didik secara keseluruhan. Oleh karena itu, marilah kita memulainya untuk memberikan rumusan dua kata yang terpisah yaitu kata bimbingan dan konseling, sehingga dengan pemahaman itu akan dapat memberikan daya dorong kedalam mendayagunakkannya.
Berdasarkan kamus besar Indonesia, mengungkapkan bahwa bimbingan adalah petunjuk (penjelasan) cara mengerjakan dsb sesuatu ; tuntunan, sedangkan konsulen adalah orang yang diangkat menjadi penasehat.
Disini untuk merumuskan kata “bimbingan”, dapat kita uraikan dari unsur kata menjadi suatu kata baru yang bermakna yaitu Kata “bimbingan” terdiri dari kata (B) menjadi (B)erkomitmen ; (I) menjadi (I)mjinasi ; (M) menjadi (M)engkomunikasikan ; (B) menjadi (B)erpartisipasi ; (N) menjadi (N)alar ; (G) menjadi (G)agasan ; (A) menjadi (A)ntusias ; (N) menjadi (N)aluri.
Berdasarkan kata tersebut, maka dapat dirumuskan menjadi untaian kalimat yang bermakna dalam pemahaman kita untuk mendayagunakan kata “Bimbingan” yang dirumuskan sebagai berikut :
BIMBINGAN adalah (B)erkomitmen merupakan kemauan dari dalam diri sendiri untuk mendorong terwujudnya suatu (I)majinasi dengan (M)engkomunikasikan agar setiap orang yang terlibat dapat (B)erpartisipasi dengan kekuatan (N)alar yang dimilikinya agar menjadi suatu (G)agasan yang dapat membangkitkan (A)ntusias untuk mendorong (N)aluri ke jalan yang benar.
Sebaliknya kata “konseling” dapat kita uraikan dari unsur kata menjadi suatu kata (K)omunikasi; (O) menjadi (O)rang ; (N) menjadi (N)alar ; (S) menjadi (S)endi ; (E) menjadi (E)mpati ;(L) menjadi (L)ahiriah ; (I) menjadi (I)lmu ; (N) menjadi (N)ilai ; (G) menjadi (G)anjar.
Sebagai rumusan dari unsur kata tersebut, maka sebagai rumusan KONSELING adalah kemampuan melaksanakan (K)omunikasi sebagai (O)rang yang mampu berpikir dengan (N)alar yang sehat sebagai (S)endi untuk membangkitkan (E)mpati secara (L)ahariah untuk menerapkan (I)lmu dalam mewujudkan (N)ilai dan (G)anjar dalam perubahan kehidupan.
Dengan memperhatikan pemahaman dari unsur kata diatas, maka pemikiran dalam „mendayagunakan bimbingan konseling“ yang dikaitkan dengan makna kerja berarti peran, fungsi, tugas, pekerjaan dalam jabatan sebagai „konsuler“ haruslah dapat dilakukan oleh pimpinan dan pendidik dalam suatu struktur formal dan non-formal untuk membantu setiap anak didik yang memiliki masalah dalam perkembangan pribadi yang bersangkutan.
2. LATAR BELAKANG DARI BIMBINGAN KONSELING (BK)
Kita menyadari sepenuhnya bahwa fungsi bimbingan konseling bukanlah sesuatu aktivitas baru, melainkan ia tumbuh dan berkembang sejalan dengan lahirnya segala sesuatu dimana sumber daya harus diorganisir, seperti halnya dalam struktur organisasi formal dalam pendidikan merupakan bagian hidup dan kehidupan kerja dalam hubungan organisasi pendidikan ,pimpinan, pendidik dan anak didik.
Sejalan dengan pikiran diatas, maka sudah seharusnya tumbuh dan berkembang bimbingan konseling sejalan dengan kebutuhan untuk berusaha meningkatkan sikap dan perilaku anak didik agar yang bersangkutan selalu siap untuk membangun kebiasaan yang produktif.
Kebiasaan yang produktif hanya dapat tumbuh dan berkembang pada setiap anak didik sangat dipengaruhi oleh dua faktor, apa yang disebut 1) faktor keturunan dan 2) faktor lingkungan. Kedua faktor tersebut menjadi latar belakang pemikiran untuk mendorong agar mendayagunakan bimbingan konseling menjadi produktif dalam pelaksanaannya dimana semua peran yang terlibat didalamnya harus mampu dalam mengaktualisasikan makna baik „bimbingan“ maupun „konseling“ seperti yang telah dirumuskan pada bagian terdahulu.
Jadi pemikiran latar belakang untuk menumbuh kembangkan sebagai suatu kebutuhan bukanlah sesuatu yang baru, melainkan telah ada sejalan dengan tuntutan perubahan dimana sumber daya manusia memainkan peranan penting dalam pembangunan, oleh karena itu dalam abad 21 dari masyarakat informasi menjadi masyarakat pengetahuan, sehingga tidak heran dalam abad ini sering diungkapkan apa yang disebut dengan modal intelektual menentukan keunggulan suatu bangsa.
Dengan demikian, kita sekarang dapat mengatakan, apa yang telah terjadi bila apa yang disebut „bimbingan konseling“ tidak berjalan sebagaimana mestinya yang dapat mendorong terwujudnya „kebiasaan yang produktif“ yang bertumpu atas kemajuan anak didik dalam menguasai ilmu dari informasi, pengetahuan dari keterampilan dan keinginan dari niat yang selama ini tidak mungkin menjadi mungkin untuk melakukan perubahan sikap dan perilaku melalui seorang konselor.
Sejalan dengan pemikiran diatas, setiap pimpinan dan pedidik dapat melaksanakan „fungsi koseling“ yang dalam ini tidak perlu menjadi ahli, sehingga setiap pimpinan dan pendidik memiliki keterapilan bagaimana harus melakukannya, jadi bukanlah menjadi monopoli seorang psikolog, sudah tentu tidak semua dapat menjalankan fungsi konseling sesuai dengan harapan bagi orang yang sedang dibimbing.
Oleh karena itu, apa yang dijalankannya, ia harus mengetahui benar-benar apa yang mereka lakukan sebagai seorang yang berperan sebagai konselor, sehingga dalam masyarakat informasi telah menjadi anggapan bahwa manusia merupakan aktiva penting dalam komunitas pendidikan untuk pemanfaatan yang efektif dan secara relatif terasa puas, akan memberikan perbedaan antara berhasil dan gagal, dengan demikian pengabdian sumber daya manusia merupakan masalah sosial.
Jadi pemimpin dan pendidik dalam organisasi komunitas pendidikan yang dalam hal ini bertanggung jawab telah tertarik akan pentingnya mendayagunakan bimbingan konseling baik untuk alasan kemanusiaan maupun yang bersifat praktis. Dengan alasan kemanusiaanlah yang mengnal pola yang berubah dari kehidupan kerja yang mengakibatkan adanya kesulitan da tekanan realistis bagi banyak orang.
Hal tersebut sungguh realistis dan pragmatis bahwa mendayagunakan bimbingan konseling merupakan alat yang paling hemat dalam meningkatkan pelaksanaan pekerjaan dengan melihat bahwa kualitas kerja dapat sedemikian terpengaruh oleh faktor manusia dalam melaksanakan perubahan sikap dan perilaku anak didik, yang sejalan dengan tuntutan perubahan untuk menumbuh kembangkan kebiasaan yang produktif dari pola pikiran yang bersifat reaktif menjadi pola antisipatif.
3. PENDEKATAN MENDAYAGUNAKAN BIMBINGAN KONSELING
Dengan memperhatikan atas pemahaman makna dan latar blakang dari apa yang diutarakan dalam mendajagunakan bimbingan konseling, maka pendekatan dapat kita bagi kedalam dua pola pikir yang disebut dengan pendekatan reaktif disatu sisi dan disisi lain disebut dengan proaktif.
PENDEKATAN REAKTIF adalah suatu pendekatan yang dikaitkan atas suatu keadaan atau peristiwa dimana anak didik mengalami kebiasaan yang buruk karena sikap dan perilaku melakukan karena keinginannya sendiri, dan atau dapat pula terjadi karena dorongan dari lingkungan yang buruk.
Sikap dan perilaku yang buruk karena kebiasaan yang tidak tertuntun dari sejak kecil dimana pndidikan agama tidak mendukung untuk menumbuh kembangkan moral / akhlak dari keteladanan orang tua sehingga mereka belum dapat membaca, menterjemahkan, meneliti, mengkaji, menghayati, memahami, mengamalkan (7M) sebagai siapa, darimana, dan kemana? dalam kehidupan, inilah masalah kritis yang ditimbulkan oleh anak didik dari perbuatannya sendiri, sehingga ia tidak mampu melepaskan diri dari kebiasaan yang buruk..
Disisi lain dimana anak didik menjalankan kebiasaan yang buruk, menimbulkan masalah pokok dari dampak lingkungan dimana anak didik tidak siap dalam menemukan jati dirinya sendiri sehingga dalam kehidupannya berontak untuk menyesuaikan diri dari sikap dan perilaku atas keadaan yang ada.
Anak didik dengan sikap dan perilaku yang buruk dari kebiasaan yang tidak produktif tumbuh dan berkembang menjadi masalah routin yang kita ketemukan dalam kehidupan sehari-harian yang terlihat dalam pandangan mata di sudut sekolah baik di sekolah umum maupun sekolah agama.
Dalam mendayagunakan bimbingan konseling pada pendekatan reaktif akan kita dapati tiga masalah yang timbunya yaitu masalah routin hanya dapat dipecahan oleh anak didik bila masalah pokok terselesaikan, sebaliknya pada masalah pokok hanya dapat dipecahkan bila masalah kritis dapat diselesaikan.
Jadi yang menjadi kunci dalam keterlibatan sebagai konsuler untuk dapat mempengaruhi anak didik dalam menemukan diinya haruslah meletakkan landasan yang kuat untuk menmbuhkan kebiasaan yang produktif pada diri yang bersangkutan.
PENDEKATAN PROAKTIF adalah suatu pendekatan yang bertolak dari suatu pemikiran untuk menghindari masalah dari sikap dan perilaku anak didik yang ditimbulkan oleh situasi kuturunan dan maupun lingkungan.
Dengan pendekatan proaktif, dimaksudkan adalah melangkah untuk memikirkan sebelum anak didik melakukan sikap dan perilaku yang bertententangan dengan akhlak / moral yang diharapkan yang sejalan tuntutan pendidikan itu sendiri.
Bertolak dari pikiran diatas, maka pendekatan proaktif dalam mendayagunakan bimbingan konseling, haruslah ada kekuatan yang didorong semua pihak dalam peran untuk memiliki sikap dan perilaku yang bersifat antisipatif. Dengan sikap itu semua peran yang terlibat harus menyadari sepunuhnya kegiatan tersebut dimulai dalam suatu perencanaan yang berencana, apakah untuk tujuan jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek.
Oleh karena itu, kemampuan untuk membuat analisa kekuatan dan peluang sangat menentukan untuk memberikan arah dari kegiatan bimbingan konseling, sejalan dengan itu maka sangat ditentukan oleh pimpinan puncak dari organisasi anak didik karena ia harus mengambil langkah inisiatif sebagai penggerak dari bimbingan konseling untuk menentukan dari mana harus memulainya, apakah dari rencana jangka panjang ke rencana menengah ke rencana jangka pendek, itu berarti pimpinan akan dihadapkan dalam menghindari masalah routin, masalah pokok dan kritis.
4. MAKSUD TUJUAN PENYUSUNAN BUKU INI
Maksud tujuan dari penulisan buku ini lebih menekankan kepada buku sebagai pedoman untuk melaksanakan bagaimana „bimbingan konseling“ dapat dilakukan oleh setiap orang yang memiliki peran dan berkecimpungan untuk memecahkan masalah yang bersifat reaktif dan proaktif anak didik dalam komunitas formal dan non-formal.
Jadi tekanan buku ini bersifat praktis untuk mendorong pemain peran dalam „ kerja, kedudukan, pekerjaan, fungsi, tugas“ agar mampu menumbuh kembangkan „kebiasaan anak didik yang sangat produktif (efektif, efesien, kualitas) dalam bersikap dan berperilaku.
Oleh karena itu, bagi pemain peran yang ingin mendalami „pengetahuan“ (apa yang harus dilakukan dan mengapa) dapat membaca buku-buku yang ditulis oleh Dewa Ketut Sukardi, Syamsu Yusuf dsb. Pengetahuan pendukung, psykologi, motivasi, keribadan, metode berperikir dsb. banyak dapat kita ketemukan oleh beragam ditulis
Dalam buku ini, menekankan yang terkait dengan „keterampilan“ (bagaimana melakukan) dan „keinginan“ (mau melakukan) sehingga mendorong perubahan sikap dan perilaku oleh pemain peran untuk mampu mengkomunikasikan bahwa pentingnya menggerakkan pemberdayaan „otak“ untuk menggerakkan alat pikir berupa „Kesadaran“ (menjawan what to do) ; „Kecerdasan“ (menjawab why to do it) ; „Akal“ (menjawan how to do it) ; „Keinginan /Niat“ (menjawab when to do it)
Dengan mengungkit kekuatan alat pikir diatas dapat memberikan daya dorong untuk merubah pola pikir dalam berikap dan berperilaku dari kemampuan yang bersifat memecahkan masalah reaktif menjadi bersifat proaktif, berarti memotivasi perubahan kemampuan dari tingkat ke kesadaran anak didik yang bertumpu dari kesadaran „inderawi“ menjadi kesadaran „rasional/ilimiah“ menjadi kesadaran „spritual“ menjadi kesadran „tauhid“. Dalam hal ini kita lebih memberikan fokus yang terkait pemecahan masalah yang bersifat „proaktif“ yang harus dilakukan berencana berkelanjutan untuk melakukan perubahan dalam sikap dan perilaku.
Bertolak dari pemikiran diatas tekanan buku ini disusun bersifat pedoman praktis untuk memecahkan hal-hal yang berkaitan dengan pemecahan masalah „reaktif“ karena inilah realita hidup yang sudah menjadi suatu penyakit yang berurat berakar.
5. PERLUKAH SEORANG PSIKOLOG DALAM BIMBINGAN KONSELING
Pada umumnya sekolah formal di Indonesia tidak di pimpin dengan latar belakang pendidikan psikologi, tetapi tidak berarti mereka tidak belajar pengetahuan yang terkait dengan pendidikan psikologi.
Yang menjadi masalah kita bahwa dalam pendayagunaan sumber daya manusia dalam komunitas pendidikan, dimana beban kerja bukanlah sesuatu kegiatan yang menyenangkan dalam menghadapi beragam sikap dan perilaku anak didik, oleh karena itu diperlukan seorang psikolog yang dapat bertindak sebagai konsultan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melaksanakan bimbingan konseling.
Dari pengalaman menunjukkan pula situasi dimana menjadi masalah bagi pendidik dengan adanya jurang kesenjangan antara beban kerja dengan hasil kerja yang mendorong pentingnya keberadaan seorang psikolog sebagai penasehat dalam hal :
1) Realita yang menunjukkan pendapatan dari seorang pendidik yang tidak sebanding dengan beban tanggung jawab atas menumbuh kembangkan kemampuan anak didik menemukan tentang jati dirinya ;
2) Seharusnya ada dorong dari kepemimpinan puncak sekolah untuk memikirkan masalah-masalah anak didik dengan bantuan tenaga ahli dalam psikologi ;
3) Realita juga menggambarkan ketidakpastian karir masa depan dalam komunitas pendidikan yang berdampak menjadi tidak bahagia dalam kehidupan.
Bertolak dari dari gambaran singkat diatas, seorang pemimpin dalam komonitas pendidikan untuk mencapai keberhasilannya dalam meningkatkan kebiasaan anak didik yang produktif, maka harus ada keberanian pimpinan puncak sekolah untuk menarik seorang yang ahli dalam bidang psikologi untuk membantu dalam menjalankan peran pendidik dalam kaitan dengan kerjanya, karena yang bersangkutan memiliki kemampuan untuk menjalankan konseling dan menjadi seorang konselor.
Yang perlu diingat bahwa setiap pendidik harus mampu mnjalankan pekerjaan konseling walaupun ia bukan ahli psikologi karena keterampilan dalam bidang ini dimana setiap orang mampu meningkatkannya sepanjang yang bersangkutan mau meningkatkan pemanfaatan pikiran untuk tumbuh dan berkembang sehingga ia terus berusaha untuk ingin tahu dari yang tidak tahu dengan meningkatkan kebiasaan yang produktif dalam usaha menjadi konselor non-profesional, yang setiap waktu ia mampu melibatkan diri dalam mnghadapi masalah anak didik.
6. PERLUKAH SEKOLAH FOKUS DALAM MENERAPKAN „BK“
Dari realita kehidupan anak didik yang banyak kita temukan, banyak sekali anak didik kurang mampu memanfaatkan waktunya setelah jam belajar, yang berdampak menjadi malas, bingung dan gelisah menghadapi tantantan hidup masa depan sebagai akibat faktor internal (keluarga) dan atau faktor eksternal (lingkungan).
Di sekolah tidak pula jarang kita temukan suatu realita dimana pimpinan puncak dari suatu komunitas pendidikan bersikap masa bodoh atau enggan menaruh perhatian atas semua situasi yang dapat menjadi masalah dalam kehidupan pendidikan.
Oleh karena itu, diperlukan daya dorong dalam manajemen sekolah agar dapat bekerja efektif, maka manajemen harus bersedia bertanggung gugat sehingga kita mengharapkan tumbuh dan berkembang manajemen yang melahikan keterampilan untuk mencapai keputusan strategik sekolah mendasarkan manajemen partisipatif.
Bertitik tolak dari pemikiran diatas, maka sekolah harus fokus menerapkan untuk mendayagunakan „bimbingan konseling, dalam hal ini kita ketemkan tiga kata kunci dari rumusan iatas yaitu :
1) Keterampilan artinya kemampuan untuk mengelola bisa kita pelajari teknik-teknik pengelolaannya dan menyempurnakannya lewat praktek ;
2) Mencapai artinya keberanian merumuskan adanya keputusan strategik untuk mendorong usaha-usaha partisipasi dalam mewujudkannya ;
3) Sukarela artinya dengan tumbuh dan berkembangnya manajemen partisipatif mendorong banyak orang yang terlibat didalamnya bersedia melaksanakan tindakan sukarela bukan sesuatu yang dipaksakan.
Sebaliknya perlu juga kita pahami, memang dalam praktek ada saja pemimpin sekolah yang berbersikap dan berperilaku masa bodoh, sehingga tidak heran yang bersangkutan kurang mengambil inisiatif untuk meningkatkan kebiasaan yang produktif karena mereka tidak berkenan menjalankan fungsi bimbingan konseling dengan sejumlah alasan sebagai berikut :
1) Mereka merasa takut bahwa peran penilaian mereka sebagai pengendali atau pengawasan akan dirusak atau diabaikan ;
2) Mereka percaya dengan memperlihatkan rasa simpati akan disalah gunakan oleh orang-orang yang berada dibawahnya ;
3) Mereka berpikir bahwa bersimpati dengan seseorang atau sekelompok orang berarti bahwa mereka tidak dapat menuntut apa-apa darinya ;
4) Mereka berkata bahwa uraian tugas dalam jabatan mereka tidak termasuk kerja sosial ;
5) Mereka berkata bahwa mereka tidak punya waktu.
Bagi mereka yang benar-benar dan secara mendasar memang menolak berperan atas pendayagunaan bimbingan konseling, bahkan untuk waktu yang terbatas nasehat yang terbaik adalah „jangan“.
Namun dalam bentuk dimk membuat dimana mereka mengungkapkan perasaan takut dan berkeberatan adalah tidak pada tempatnya. Waktu umpanya sebenarnya bukanlah faktor penghambat kapanpun waktu yang digunakan dalam pendayagunaan bimbingan konseling untuk nak didk tidak mungkin terlalu lama dan akan mungkin tergantikan beberapa kali lebih banyak waktu dorongan poduktivitas dan motivasi akan meningkat.
Kepemimpinan dan manajemen dapatlah dikatakan keduanya bergantung pada keinginan keras dan kemampuan untuk membuat anak didik berhasil. Keterampilan mendayagunakan bimbingan konseling merupakan kelengkapan dari keterampilan kepemimpinan. Keterampilan ini idak perlu dilakkan tiap hari tapi sekali pada waktunya keikut sertaan oleh pimpinan puncak sekolah atau temat sejawatnya diharapkan membuat perbedaan perorangan yang akan terus ada pada dirinya seumur hidup.
7. KESALAHAN KESALAHAN „BK“ YANG BERSIFAT UMUM
Berbeda dari mreka yang memiliki pandangan dimana tidak mau terlibat dengan teman sejawatnya dan atau bawahannya atas masalah lain kecuali urusan kerja dan pelaksanaan kerja, sebaliknya memang ada yang lain yang mersa senang dalam mendayagunakan makna bimbingan konseling, tetapi mungkin tidak mengetahui bagaimana harus melakukannya atau mungkin mereka ni mempunyai rasa takut yang salah tentang apa sebenarnya arti mendayagunakan bimbingan konseling.
Mereka merasa gugup tidak tahu apa yang harus dikerjakan bila hal itu ia laksanakan, sebelumnya ia perbuat untuk kebaikan orang lain, dimana ia selalu dibayangi oleh perasaan emosional, yang sebenarnya mereka mempunyai potensi untuk itu.
Diwah ini mencoba mengungkapkan hal-hal yang membuat ada rasa takut sehingga mendorong kedewasaan intelektual dan emosional yang tidak sejalan seperti aa-apa yang kita ungkapkan dibawah ini :
1) Mereka terlalu menekankan segala sesuatu dari dirinya dengan satu pemikiran bahwa hal itu akan membantu, padahal mungkin tidak membantu ;
2) Adakalanya mereka memulai sesuatu dengan memuji orang lain, hal ini dapat mematahkan semangat mereka ;
3) Bergerak langsung pada pemecahan masalah, hal itu mungkin dapat dipakai tetapi terlalu cpat ;
4) Mereka selalu berpandangan bahwa bantuan itu artinya melakukan sesuatu untuk seseorang padahal belum tentu demikian halnya ;
5) Mereka percaya bahwa sedikitnya bantuan yang diminta berupa nasehat yang meyakikan, pada hal tidak perlu.
Dengan memperhatikan hal-hal yang diutarakan diatas, lalu apa yang seharusnya mereka lakukan atau adakah sesuatu yang lain. Yang tidak ada pada mereka adalah hakekat dari pemahaman yang mendalam mengenai pendayagunaan bimbingan konseling.
Sebaiknya inisiatip harus diambil oleh pimpinan puncak dengan melontarkan pemikiran-pemikiran bagaimana memecahkan kesalahan yang bersifat umum dengan mengambil langkah dengan mengadakan sumbang saran diantara teman sejawatnya, dengan pemikiran itu diharapkan mampu merumuskan keputusan strategik sekolah yang pada akhirnya menjadi pedoman utuk dilakukan secara berencana.
BERSAMBUNG KE BAB II
Leave a Reply